Rabu, 16 Januari 2013

KUNCI TAUHID

Pengendalian hawa nafsu harus dimulai dari dalam diri, supaya baik seluruh amal kehidupan kita. Keluarga yang diberi nafkah karena hawa nafsu membuat diri jadi sakit. Nafsu amarah dan lawwamah yang tetap tinggi menjadikan hidup kotor, gejolak jiwa yang emosional. Kembangkanlah nafsu muthmainnah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Barang siapa memuliakan agamanya, dia akan ditinggikan derajatnya oleh agamanya, selanjutnya barangsiapa merendahkan agamanya, ia pun akan direndahkan oleh agamanya. Ketiga jenis nafsu yang tertulis dengan pasti di dalam Al-Quran dan sangat berpengaruh terhadap perikehidupan manusia di hadapan Allah adalah:
1.    Nafsu AMMARAH BISSU’. Nafsu ini sangat berbahaya apabila melekat pada diri seseorang sebab ia terlalu mengarahkan manusia kepada perbuatan dan perilaku yang dilarang agama (QS.Yusuf/12 :53,“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”)
2.    Nafsu LAWWAMAH, yaitu nafsu yang sudah mengenal baik dan buruk. Nafsu ini mengarahkan pemiliknya untuk menentang kejahatan, tetapi suatu saat jika ia lalai beribadah kepada Allah SWT, maka ia akan terjerumus kepada dosa. Orang yang memiliki nafsu ini BELUM KONSISTEN untuk menjalan ketaatan dan meninggalkan perbuatan dosa (QS. Al-Maidah/5 :13,“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”)
3.    Nafsu MUTHMA’INNAH, yaitu nafsu yang membuat pemiliknya tenang dalam ketaatan. Nafsu ini telah mendapat rahmat ALLAH SWT, dan manusia yang mendapatkan nafsu ini akan mendapat ridha ALLAH SWT di dunia dan akhirat. Orang ini akan khusnul Khotimah di akhir hidupnya sebagai pintu menuju surga ALLAH SWT (QS. Al –Fajr/89 :27-30,“Hai jiwa yang tenang. - Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. - Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, - dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
ndonesia negara subur, perlu kerja keras dalam membangun. Menghargai manusia (murid) adalah kunci keberhasilan pembangunan negara dan bangsa. Maka dosen atau guru tidak boleh menyia-nyiakan muridnya. Rasul mengatakan media yang paling canggih dalam mengembangkan bangsa adalah mendekati umat. Umat harus ditinggikan dan diajak bertauhid agar dapat mengembangkan komunikasi (dialog) kepada Allah SWT. Jiwa dan raga harus ada komunikasi yang secara sadar dalam satu energi, yaitu energi Allah SWT. Sehingga menghindari istidrad (pemaksaan kehendak), dengan cara menguatkan wahyu dalam kerangka kehidupan agar menjadi umat yang bertauhid.

Dalam melaksanakan shalat kita menghendaki keadaan yang hening, karena jiwa kita ketika dikenalkan pada firman Allah, nyamannya kita terkadang menginginkan mata tertutup, telinga menutup informasi dari yang lain dan tangan kita bersedakep. Straeteginya adalah ketika kita berdialog kepada Robbul Izzati matikanlah dahulu semua pengganggu mata, telinga, dan lain-lain baru setelah itu hati bisa hidup (alastu birobbikum qoolu blaan syahidna). Banyak orang mati hatinya dan tidak mampu menjaga perutnya (pusatnya) karena syahwat ada (bergolak) di dalamnya.

Melawan syahwat adalah dengan mengorbankan kesenangan fisik untuk menemukan syafaat Allah. Syafaat akan muncul bila ladang persemaiannya benar-benar dipelihara. Dalam kaitan ini maka syafaat akan datang bila kita membantu anak yatim, membantu masjid, dan meninggikan ibadah sosial lainnya arti kata jangan rendahkan agama. Belajar berdialog dimulai dengan merancang komunikasi kepada Rasulullah Muhammad SAW. Bersholawat kepada rasul adalah mengembangkan momentum kesolehan dalam memberikan manfaat lahiriah dan batiniah bagi orang lain. Sholawat adalah santunan kepada jalan Allah, meninggikan ahlak (tangan di atas lebih mulia dari tangan yang di bawah) ini adalah konsep syafaat.

Disebabkan kita pernah dijajah, maka Indonesia (umat Islam Indonesia) di antara amaliyah ibadahnya merupakan produk penjajah, yaitu hanya sekadar teori tetapi tidak menumbuhkan kecintaan kepada Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW. Manusia yang tidak bisa ditundukkan oleh ajaran Agama akan ke mana perginya, jika ada rezeki jangan lupa dengan rumah Allah, sumbang dan santuni serta hidupkan Al-Quran. Malaikat dan Rasulullah menunggu Al-Quran dibahas dan menjadi emosi jiwa yang tinggi yang membakar rasa tauhid dengan tujuan melihat ajaran Allah SWT melalui Baginda Rasulullah SAW dapat menjulang tinggi. Allah SWT berfirman bahwa kemuliaan hanya milik Allah, bila ingin mendekati sifat kemuliaan persilahkan mulai melakukan perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh itulah kapital. Manusia telah diberi lidah untuk berkata yang baik dan diberi indera untuk beramal kebaikan. Siapa mau beramal dengan kata dan perbuatan di situlah dialog kepada Allah tidak pernah berhenti. Allah rindu kepada hambanya yang selalu ingin bergantung bahkan Allah cemburu kepada hambanya yang memalingkan wajah dari-Nya. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa perkataan yang baik itu ialah kalimat tauhid yaitu laa ilaa ha illallaah; dan ada pula yang mengatakan zikir kepada Allah dan ada pula yang mengatakan semua perkataan yang baik yang diucapkan karena Allah। Surat Fathir memberi penjelasan tentang eksistensi Allah bagi kehidupan hamba-Nya. Berjalan dengan lurus penuh perhatian pada agama Allah SWT maka dengan demikianlah ajaran agama akan tinggi dan mudah dipahami oleh siapapun yang berniat untuk masuk ke dalam kebenaran hakiki.


“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur”. (QS. Faathir/35 : 10)

Syafaat adalah perkataan tauhid dan amal sholeh! Jika ada orang yang ingin mengganggu orang lain yang meninggikan agama Allah, siap-siap Allah akan menghancurkan. Karena Allah penghancur yang teramat dahsyat. Menjadi pembawa risalah agama tidak pada tempatnya bila menjadikan dunia sebagai sebuah kemuliaan. Bukan dunia, bukan harta kekayaan, dan jabatan yang memuliakan. Penyebab kemuliaan adalah merebut perhatian Allah SWT agar kita bisa merebut kemuliaan dari genggaman Allah dimana Allah ikhlas memberikannya kepada manusia.

Menyelami spiritual adalah sebuah karunia dan nikmat dari Allah. Allah menghendaki hamba-Nya selalu ingat kepada Allah dengan cara udzkuru, mengingat dan mengenal laa ilaha illallah dengan meninggikan ajaran agama Allah. Sumbang dan korbankan harta untuk mempraktikkan iman dan rasa syukur kepada Allah. Orang intelektual mencari harta dan dunia sedangkan orang spiritual menunggu keridloan Allah, karena hartanya bukan untuk kesenangan pribadi tetapi untuk meningkatkan energi agar selalu mudah berdialog kepada Allah.
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu। Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)” (QS. Faathir/35 : 3)

Berdialog kepada Allah bukan keinginan siapapun kecuali kesadaran dari dalam diri sendiri. Keutamaan yang terakahir dari perjuangan dialog hamba Allah adalah rasa takut yang tinggi kepada Allah. Perkataannya baik, perbuatannya baik, sehingga kesalehan menjadi tampak bukan karena dipaksakan tetapi karena tuntunan. Rasa takut kepada Allah itulah yang selanjutnya menjadikan seseorang menjadi begitu mudah beramal harta, beramal materi dan beramal perkataan yang baik-baik.



“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Faathir/35 : 28)

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar”. (QS. Faathir/35 : 32)

Allah adalah penentu karunia dan iman yang tertanam dalam diri setiap hamba-Nya. Setiap kita diberi kesempatan untuk menentang Allah, atau tunduk dan taat kepada Allah. Manusia hanya bisa memprotek kehidupannya bila yang dihadapi adalah kepentingan kemanusiaannya, namun tidak mungkin sama sekali bila yang dihadapi adalah Allah. Jika kita beriman, Allah akan sayang dan kasih kepada kita, namun bila membangkang itulah penganiaya diri sendiri. Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya. Mereka ini orang yang telah putus dialog kepada Allah, seandainyapun ia sholat bukan untuk menyambung tali dialog tersebut, melainkan hanya sia-sia belaka perbuatannya. Allah SWT telah menggariskan dalam hak-Nya yang teramat mutlak mengenai hamba yang terpilih menjadi pilihan. Allah tidak pernah kesulitan dalam menentukan pilihan hamba yang pantas membawa ajaran-Nya. Cukup mudah kriterianya, yaitu iman dan amal shaleh. Para nabi dan rasul disebabkan kemampuannya dalam menguatkan iman dan amal shaleh, karena itulah Allah telah memilih mereka masing-masing sebagai pembawa risalah. Orang pertengahan ialah orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan.


“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, Maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah Maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Faathir/35 : 2)

Pengembang ilmu hikmah selalu mencari cara untuk bisa bertemu dengan mutiara-mutiara pada setiap ayat Al-Quran. Setiap mutiara yang berupa ilmu dan amal merupakan rahmat yang besar. Allah pemiliknya yang tidak dapat ditahan rahmat tersebut dan tidak dapat dilepas tanpa izin Allah. Bersiap-siaplah bila rahmat tersebut datang kepada kita, dan kejarlah bila ternyata anugerah rahmat tersebut belum menghampiri. Namun Allah maha bijaksana untuk tidak membiarkan anugerah tersebut jatuh ke tangan orang lain apalagi jika kita tahu bahwa Allah memang tidak pernah berbuat dzalim kepada setiap hambanya.

Orang intelektual mudah dipatahkan oleh orang spiritual. Spiritual adalah penyatuan rasa Iman (laa ilaaha illallah) untuk hal ini tidak ada perdebatan. Ilmu nahwu adalah ilmu teoretik yang perlu pengamalan agar ilmu nahwu tersebut menjadi nyata. Walisongo memiliki kecerdasan dalam mengembangkan ilmu nahwu teoretik dan cerdas mengkontekstualisasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Manusia membentuk satu rasa, rasa tauhid antara murod dengan mursyid. Setiap hamba Allah ingin selalu dapat menuju jalan tauhid tanpa ada rintangan. Menuju jalan yang benar tanpa ada rintangan tentu mustahil. Apalagi bila ingin menjadi manusia pilihan Allah yang sudah mampu mengendalikan hawa nafsu dan tidak menyandarkan setiap perkataan dan perbuatan di luar bimbingan Allah SWT. Pemberi peringatan mendapat tugas ketika telah berhasilnya seseorang mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak pernah berjalan tanpa izin Allah SWT. Pengaturan atau manajemen profesional telah Allah tunjukkan melalui kesiapan kehidupan manusia yang tidak pernah dibuat susah oleh Allah sampai kapanpun. Allah menghendaki manusia benar-benar mampu mengenal-Nya sehingga berbagai macam perlengkapan Allah upayakan untuk kita. Siapapun boleh mengenal Allah, Dia tidak mengenal diskriminasi. Nabi Muhammad SAW adalah pembawa kebenaran yang tidak pernah mendiskriminasi. Hal ini karena Allah selalu menjadi penjamin mutu bagi rasul yang diutus-Nya.

Ketika Allah menghampiri hamba-Nya pasti berita gembira yang dibawanya। Karena Allah sudah sangat paham bahwa manusia membutuhkan motivasi untuk beribadah. Tetapi setelah motivasi diberikan secara terbuka untuk siapapun ternyata manusia belum tertarik melakukanya, barulah Allah SWT mengeluarkan perintah untuk mengeluarkan justifikasi (keputusan) diterima atau ditolak.

“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan” (QS. Faathir/35 : 24)

Nandzir memiliki sifat tegas, pembuktian yang nyata sebagai seorang nandzir dan bukan “maling agama”. Al Ghazali megatakan rampok jalanan bagi nandzir yang nakal yang menjual ceramahnya untuk upah yang diterimanya. Memahami ajaran rasulullah dengan cara memahami hamdalah, merenungkan dan dan mempraktikkan. Harta dan jiwa jadi taruhan untuk mengenal Allah. Ambil hikmah dari jalan sepur (kereta) yang tetap lurus jalannya mengikuti relnya. Nandzir yang tidak amanah direkomendasikan untuk tidak diamini doanya, karena Nandzir yang komitmen tentu tidak minta upah.

“Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”

Banyak orang merasa telah membela agama padahal belum! Kenali dahulu rasulnya, baru bisa membela agama. Standar terbaik dalam perbuatan hamba Allah adalah Al-Quran. Wallahu a’lam bi Shawab.

Selasa, 15 Januari 2013

Makalah Permasalahan Pendidikan Di Indonesia


MAKALAH PENGANTAR PENDIDIKAN MENGENAI
“PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA”



Description: C:\Documents and Settings\www\Desktop\Shoes Running\logo unisma.jpg




Rizki Ramadhan, 1 F


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM ’45 BEKASI
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah dan rahmat-Nya serta nikmat sehat kepada penulis, dan atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai “Permasalahan pendidikan di Indonesia”.
Selain itu, dalam proses penyelesaian makalah ini tentunya tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak . Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ungkapan terima kasih kepada :
1.          Allah SWT Atas segala petunjuk dan kemudahan-Nya sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalahnya.
2.          Bapak Iwa Kusmayadi, Drs., M.Pd. selaku dosen Pengantar Pendidikan.
3.          www.google.com
4.          Dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT melimpahkan karunia serta Anugerah-Nya atas segala bantuan yang telah diberikan.
Akhir kata, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang di miliki, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca, guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pikiran bagi para pembaca.




Bekasi, Januari 2013



Penulis



DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………...................   2
Daftar Isi ……………………………………………………...................   3

Bab I  PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang ………………………………………………  4

Bab II PEMBAHASAN
A.   Permasalahan Pendidikan di Indonesia …………………  5
B.   Kualitas pendidikan di Indonesia …………………………  7         
1.    Rendah-Nya kualitas Sarana Fisik …………………     7
2.    Rendah-Nya Kualitas Guru ……………………………  7
3.    Rendah-Nya Kesejahteraan Guru ……………………  9
4.    Rendah-Nya Prestasi Siswa ……………………………            9
5.    Kurang-Nya Pemerataan Kesempatan Pendidikan … 10
6.    Rendah-Nya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
7.    Mahal-Nya Biaya Pendidikan …………………………  11
C.   Solusi Pendidikan di Indonesia …………………………… 14       

Bab III PENUTUP
A.   Kesimpulan …………………………………………………   15
B.   Saran ………………………………………………………..    16       







BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar belakang
     
      Pendidikan adalah suatu penentu agar bangsa kita dapat melangkah lebih maju dan dapat bersaing dengan negara–negara lainnya. Melihat kekayaan alam Indonesia yang melimpah, sangat disayangkan apabila semua kekayaan alam di Indonesia tidak dapat diolah dan dimanfaatkan oleh anak Indonesia sendiri. Hal ini terjadi karena kurangnya Sumber daya manusia yang berkualitas, di mana pendidikan menjadi titik tolak dari keberhasilan suatu Negara.

      Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dan keterbatasan biaya bagi anak yang kurang mampu, membuat pendidikan di negara ini menjadi suatu masalah yang cukup kompleks. Dibutuhkannya peran dari pemerintah dalam membangun pendidikan.

      Gambaran ini tercermin dari banyaknya anak-anak usia sekolah belum mendapatkan pendidikan yang layak, atau bahkan tidak sama sekali. Jangankan di daerah pedalaman, di ibukota sekalipun kita masih dapat menemukan anak-anak yang tidak sekolah, karena tuntutan ekonomi dan kesadaran akan pentingnya pendidikan.

      Sumber daya manusia yang berkualitas, tercipta dari pendidikan yang bermutu dan terstruktur dengan baik. Karena dengan begitu, akan membangun pengetahuan, sikap tertib dan rasa disiplin anak dalam menjadi individu-individu yang bermutu dan beretika. Dengan demikian, akan terlahir pula anak bangsa yang dapat melanjutkan pembangunan dan perkembangan dari negara ini.

Mengingat banyaknya penduduk dan luasnya negara Indonesia, hal ini memang bukan masalah yang mudah untuk dihadapi. Dengan peran pemerintah untuk lebih fokus dalam mementingkan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak, serta kecermatan pemerintah dalam mengembangkan potensi anak, karena tidak sedikit anak-anak yang berpotensi tidak mendapat perhatian dari negara, tetapi lebih mendapatkan perhatian dari negara lain. Bukan hal mustahil bagi Indonesia untuk menjadikan negara ini menjadi negara yang sudah siap bersaing dan menjadi negara yang lebih maju. Untuk itu penulis membuat sebuah makalah tentang permasalahan pendidikan di Indonesia dan bagaimana cara membenahi dan mengatasi permasalahan pendidikan di Indonesia, agar kedepan-Nya pendidikan di Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi. Amiin
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
            Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
v Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
v Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :

1.    Rendah-Nya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

2. Rendah-Nya kualitas Guru
                
            Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendah-Nya Kesejahteraan guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendah-nya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahal-Nya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
c. Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
v Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

v Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.

Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.




























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.
B. Saran
Mungkin, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang di miliki, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca, guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pikiran bagi para pembaca. amiin